
Dilahirkan dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra tanggal 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah, WS Rendra adalah seorang pujangga besar yang pernah dimiliki Bangsa Indonesia. Bahkan Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an karena Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Selama hidupnya WS Rendra telah banyak melahirkan karya-karya yang hebat. Bakatnya ini telah terlihat sejak beliau masih duduk di bangku SMP. Contohnya bisa kita lihat pada karya drama pertama beliau "Kaki Palsu" yang dipentaskan ketika beliau masih SMP. Bahkan drama "Orang-Orang di Tikungan Jalan" adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, dimana saat itu beliau masih duduk di bangku SMA. Banyak lagi karya-karya dan penghargaan yang beliau peroleh yang menjadi bukti betapa piawainya sastrawan yang satu ini.
Namun semua penghargaan yang beliau peroleh tidak merubah sedikit pun sikap beliau. Beliau menanggapi semua itu dengan ringan. Begitu juga ketika beliau mendapat berbagai komentar sinis karena keputusannya untuk masuk Islam hanya untuk poligami (WS Rendra lahir dan besar di keluarga yang memeluk Katolik). Dan setelah masuk Islamlah nama beliau berubah menjadi Wahyu Sulaeman Rendra atau WS Rendra. Sikap yang menganggap ringan dan santai saja ini juga beliau tunjukan ketika menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra! (saat itu Rendra telah beristri dua yaitu Sunarti Suwandi dan Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat). Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini.
WS Rendra meninggal dalam usia 73 tahun. Jasad beliau dimakamkan di Bengke Teater Rendra Depok dan berdekatan dengan makam Mbah Surip. Ini sesuai dengan permintaan Rendra sendiri. Dalam saat-saat terakhirnya, WS Rendra masih sempat untuk menulis puisi akan rindunya pada Sang Ilahi, seperti dimuat Kompas[dot]com. Bait-bait terakhir puisi itu berbunyi,
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah
Tuhan, aku cinta padaMu
Tampak sudah, sepanjang hidupnya, Rendra bernyanyi, mencinta, menangis, mengecam, mengkritik dan berdoa dengan puisi. Selamat jalan Sang Burung Merak, namamu akan selalu hidup dalam karya-karyamu. (*bb/tkh)
referensi :
* http://id.wikipedia.org/wiki/W._S._Rendra
* http://www.antaranews.com/berita/1249625943/in-memoriam-ws-rendra
0 comments:
Posting Komentar
Silakan bagi sahabat yang ingin berkomentar, memberi kritik, dan saran sebagai apresiasi dalam tulisan ini. Saya pribadi sangat menghargai dan menghormati apapun bentuk apresiasi yang sahabat berikan. Terima kasih!!